Jakarta, CNBC Indonesia – Krisis moneter Asia 1998 menjadi lembaran suram bagi masyarakat Indonesia secara umum, dan nasabah perbankan secara khusus. Bagaimana tidak? Keberadaan bank yang diharapkan bisa menjadi tempat menyimpan uang yang aman justru menjadi tempat pertama yang diserbu masyarakat.
Kok bisa? Krisis finansial yang memukul sektor keuangan, atawa perbankan, membuat para nasabah panik dan berbondong-bondong menyambangi kantor cabang tempat menyimpan uang mereka. Istilah rush money pun mengemuka. Tidak tanggung-tanggung, aksi bank runs ini membuat 16 bank tutup. Saat yang kelam memang.
Tercatat, 16 bank terdampak bank runs yang ditutup adalah Astria Raya Bank, Anrico Bank Limited, Bank Andromeda, Bank Citra Hasta Dhana, Bank Dwipa Semesta, Bank Guna Internasional, Bank Harapan Sentosa, Bank Industri, Bank Jakarta, Bank Kosagrha Semesta, dan Bank Mataram Dhanarta.
Ada nama-nama bank tersebut yang masih terekam di ingatan?
Masa tersebut bisa dibilang sebagai masa jahiliyah industri perbankan, salah satunya adalah akibat tata Kelola yang kurang baik, dan sistem yang belum sematang dan secanggih saat ini. Hal ini sangat dirasakan, terutama bagi nasabah umum. Seperti yang dialami oleh Helena Rosanti (50)
Ibu dari dua orang putra ini punya cerita tak menyenangkan dengan layanan perbankan saat itu. Kepada CNBC Indonesia dirinya berkisah, bahwa dulu di tahun 1997 dana tabungannya sekitar Rp 400 ribu di salah satu bank BUMN tetiba raib. “Eh tahunya pas mau nabung, sampai teller uang enggak ada saldo,” kenangnya.
Karena kecewa dan penasaran, Helena meminta kejelasan kepada pejabat bank terkait. “Tetap mereka enggak kasih alasannya. Saya bilang ini kan komputer masa enggak ada jejak!?” kecamnya.
Setelah kejadian tersebut ada masa di mana dirinya tidak lagi mempercayai institusi perbankan. “Sejak itu tidak lanjut,” imbuhnya.
Hal yang ternyata memang kurang diperhatikan oleh industri perbankan kala itu. Dari catatan CNBC Indonesia, pengawasan yang buruk juga membuat sistem perbankan Indonesia rapuh karena banyak dikuasai sekelompok pebisnis.
Akarnya berihwal pada 1988, di mana Indonesia mengeluarkan aturan di dunia perbankan yang mengizinkan siapa saja untuk mendirikan bank asalkan memiliki modal Rp 10 miliar.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk mendirikan bank sekaligus membiayai bisnis termasuk dari luar negeri. Yang, lacurnya menjadi malapetaka pada 1998.
Krisis Ekonomi Asia atau Krisis Moneter pada 1997/1998 bermula dari krisis mata uang di beberapa negara Asia, seperti Thailand. Krisis itu menjalar ke Indonesia dan dengan cepat menggoyang perekonomian nasional yang pondasi ekonominya rapuh.
Pondasi ekonomi Indonesia dinilai keropos karena sistem perbankan yang buruk serta besarnya utang dalam dolar AS.
Krisis menjatuhkan nilai tukar rupiah dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.900 per dolar AS. Krisis juga membuat inflasi Indonesia melonjak hingga 77% sementara ekonomi terkontraksi 13,7% lebih.
Berdasarkan Laporan Tim Kajian Pola Krisis Ekonomi Kementerian Keuangan, sebelum 1997, perekonomian Indonesia sedang tumbuh tinggi sekitar 7% yang dimotori oleh investasi. Kondisi tersebut membuat pihak swasta menambah utang untuk menggerakkan proyek, dan akibatnya utang swasta berjangka pendek maupun jangka panjang mencapai sekitar 157% terhadap PDB pada tahun 1998.
Berbagai imbas Krisis Moneter pun pahit dirasakan banyak pihak, baik Masyarakat berpenghasilan rendah sampai para pengusaha kesohor. Mulai dari melonjaknya harga barang hingga yang paling epik adalah kejatuhan Rezim Orde Baru.
Sisanya tinggal sebuah cerita.
Titik balik kembalinya trust masyarakat
Namun demkirian, kisah suram industri perbankan tidak berlangsung tanpa berkesudahan. Upaya penyehatan yang dilakukan pemerintah memberikan angin segar kepada masyarakat. Terlebih, keseriusan membenahi sistem perbankan dan menjaga dana nasabah semakin terwujud dengan kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Atas mandat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS, lembaga ini kemudian beroperasi pada 22 September 2005.
“Benar keberhasilan pemerintah bersama-sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan sebelumnya BI (Bank Indonesia) mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap bank adalah melalui pembentukan dan penguatan LPS,” tukas Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah kepada CNBC Indonesia, Kamis (31/8/2023).
Tetapi selain keberadaan LPS, lanjutnya, keberhasilan utamanya adalah dengan memperkuat sistem perbankan itu sendiri. Sehingga bank-bank di Indonesia saat ini bisa berkinerja dengan stabil, sehat dan menguntungkan.
“Itu yang lebih utama memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Adanya LPS melengkapi dan memperkuat kepercayaan masyarakat tersebut,” tegas Piter.
Belum lama ini, Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK pada tanggal 26 Juli 2023 menilai stabilitas sektor jasa keuangan nasional tetap terjaga dan resilien didukung oleh permodalan yang solid dan likuiditas yang memadai.
Di tengah pelemahan demand global, sektor perbankan Indonesia tetap resilien dengan fungsi intermediasi yang terjaga serta ditopang permodalan yang memadai.
Pada Juni 2023, kredit tumbuh sebesar 7,76% yoy menjadi Rp 6.656 triliun, dengan pertumbuhan tertinggi pada kredit investasi sebesar 9,6% yoy. Per jenis kepemilikan, pertumbuhan kredit Bank BUMN tumbuh tertinggi yaitu sebesar 8,3% yoy.
Di lain sisi, secara tahunan, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Juni 2023 mencapai 5,79% yoy atau menjadi sebesar Rp8.042 triliun, dengan pertumbuhan terendah pada Tabungan di level 2,97% yoy.
OJK juga mencatat likuiditas industri perbankan pada Juni 2023 dalam level yang memadai dengan rasio-rasio likuditas yang terjaga. Rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/DPK (AL/DPK) masing-masing di level 119,05% dan 26,73%. Posisi tersebut tetap jauh di atas treshold masing-masing sebesar 50% dan 10%.
Sementara itu, kualitas kredit masih terjaga dengan rasio NPL net perbankan stabil di level 0,77% dan NPL gross di level 2,44%. Sedangkan untuk mengantisipasi potensi risiko yang mungkin timbul ke depan, kondisi industri perbankan tercatat cukup resilien dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) industri Perbankan sebesar 25,41%.
Jawaban dari kekhawatiran nasabah simpanan
Kehadiran LPS pun perlahan tapi pasti turut mendukung kembalinya kepercayaan nasabah tehadap institusi perbankan. Hal ini bisa terlihat dari semakin meningkatnya simpanan nasabah atau DPK dari tahun ke tahun.
Pada akhir 2005, atau seumur jagung usia LPS, total DPK perbankan baru sebesar Rp 1.127,94 triliun. Kini, nyaris 18 tahun peran LPS dalam memberikan penjaminan terhadap simpanan nasabah, total DPK perbankan telah mencapai Rp 8.000,69 triliun per Mei 2023. Pertumbuhan DPK mencapai 600% lebih. Fantastis!
Peran penjaminan dana simpanan nasabah tidak bisa dimungkiri menjadi salah satu pondasi kepercayaan masyarakat terhadap institusi perbankan. Seperti yang disampaikan oleh Teti Purwanti (35), ibu satu putri ini mengaku dirinya memilih deposito di perbankan untuk mengendapkan uangnya.
“Soalnya aku orang jadul, aku mau main saham tahu teori, tapi aku enggak rela kalau boncos (loss). Ya sudah kubiarkan saja mengendap tuh duit di deposito. Daripada aku celengin enggak nambah. Lagian kan dijamin LPS,” tukasnya.
Lain lagi dengan kisah Siti Nuryatimah (45). Dirinya masih mengingat betul kejadian saat mengetahui BPR Bagong Inti Marga Banyuwangi (BPR Bagong), tempat menyimpan uang hasil penjualan satenya, tiba-tiba diputuskan pailit pada 2 Februari 2023.
Padahal pemilik usaha sate ayam dan gulai kambing ini rutin menyetorkan keuntungan hasil dagang ke tabungannya di BPR Bagong. Ia sudah lebih dari 10 tahun menabung di BPR Bagong dan memiliki simpanan ratusan juta rupiah.
Suatu hari, Nuryatimah bercerita, dirinya berniat menarik uang tunai dari BPR Bagong, namun pihak BPR mengaku tidak dapat melayani permintaan itu. Saat itu, informasi yang didapat dari staf di BPR tidak memuaskan dan terkesan cenderung menutup-nutupi. Untungnya, ia mengenal salah satu manajer BPR Bagong dan mendapatkan penjelasan bahwa BPR tersebut berada dalam penanganan LPS.
“Saya diberikan penjelasan bahwa jika mau ambil uang tunggu beberapa waktu karena sudah ditangani oleh LPS dan dijamin oleh LPS,” ujarnya kepada awak media dalam bincang-bincang secara daring di kantor LPS, Jakarta, Senin (28/8). Mendengar penjelasan ini, Nuryatimah merasa lebih tenang. Ia percaya simpanannya akan kembali.
Setelah itu, Nuryatimah dihubungi pihak LPS bahwa ia dapat mengurus pengambilan simpanan miliknya di BPR Bagong melalui Bank Mandiri. Hanya dengan membawa tabungan, KTP, dan mengantre selama beberapa jam, kemudian langsung dananya cair.
Prosesnya tidak berbelit belit. Nuryatimah pun tidak perlu bolak balik ke BPR. Ia hanya menunggu di rumah dengan hati tenang.
Saat BPR Bagong pailit, Nuryatimah masih memiliki tabungan sekitar Rp 25 juta, sehingga ia mendapatkan dana tersebut sepenuhnya karena simpanannya masih berada di bawah Rp 2 miliar sesuai peraturan penjaminan LPS.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Bos LPS Sebut RI Aman, Bank Tak Perlu Ragu Kasih Pinjaman!
(dpu/bul)
Quoted From Many Source